MAKALAH
METODE STUDI AL-QUR’AN DI ERA
KONTEMPORER
Oleh :
1.
Lia Kurniawati
(A01213051)
2.
Lina Muflihah
(A01213052 )
3. Mabrurotul Aimmah (A01213058 )
4. Muhammad Amirul Mu’minin Arifin (A01213068 )
Dosen Pembimbing:
Muhammad
Thoriqus Su’ud, M.PD
FAKULTAS
ADAB
JURUSAN
BAHASA
DAN SASTRA ARAB
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN AJARAN 2013 / 2014
KATA
PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Tiada kata yang dapat kami ucapkan pada
saat ini, kecuali rasa syukur kita kepada Ilahi Rabbi yang telah menciptakan
langit dan bumi, cinta dan hati. Dialah Allah yang Maha tinggi dan Maha suci.
Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, pemuda dambaan hati, gagah berani, dan berjihad di jalan Ilahi
Rabbi. Kami bersyukur kepada Allah yang telah memberikan maunah dan taufikNya
kepada kami sehingga makalah yang berjudul “ Metode Studi Al- Qur’an Di Era Kontemporer ” dapat terselesaikan
tepat waktu.
Rasa terimakasih kami haturkan kepada
dosen pengampu kami yaitu bapak Thoriqus Su’ud, yang tak bosan-bosannya
membimbing kami, memberikan pengarahan, serta berbagai kritik dan saran terhadap
makalah yang kami buat. Kami patut bersyukur karena berkaca dari
kesalahan-kesalahan kami, kelak kan menjadikan kami lebih maju dan lebih baik.
Terimakasih kepada segenap para penulis yang sudah merelakan dan meluangkan
waktu,tenaga, pikiran serta materi demi tersajinya makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah. Terimakasih kepada orang-orang tua kami yang tak
henti-hentinya berdo’a untuk anakmu yang dhoif ini serta bejerih payah dalam
menafkahi kami, sehingga kami dapat melangkahkan kaki di IAIN Ini demi
menjelajahi ilmu Tuhan serta menggapai cita-cita yang semoga nantinya dapat
mengubah kita menjadi orang yang lebih berilmu dan bermanfaat. Tak lupa pula kepada
segenap orang-orang yang ada disekitar kami yang turut membantu dalam
menyelesaikan makalah ini baik bantuan secara materi maupun moril. Semoga kelak
memetik buahnya di ahirat nanti. Amien.
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian dan penjelasan studi Al-Qur’an di
era kontemporer, tafsir
sastra beserta metode tafsir dan tentang hermeneutik.
Dari pembahasan-pembahasan tersebut kami berharap dapat menjelaskan sesuai
judul dalam makalah ini. Dan makalah ini dibuat agar dapat memenuhi tugas mata
kuliah Pengantar Studi islam
(PSI), juga diharapkan para pembaca dapat memahami tentang hal-hal yang
berkaitan dengan judul makalah ini.
Sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan , mengembangkan wawasan, dan
dapat memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan judul makalah ini.
“Tiada
gading yang tak retak” itulah pepatah yang pantas untuk makalah ini karena
kami menyadari bahwa dalam makalah kami masih terdapat kekurangan dan banyak
kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan
kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada pihak-pihak yang telah
bekerja sama sehingga makalah ini terselesaikan, kami ucapkan banyak
terimakasih. Semoga makalah ini menjadi benar-benar bermanfaat bagi para
pembaca. Amien.
Surabaya, 28 oktober 2013
Daftar isi
Kata
pengantar……………………………………………………………. 2
Daftar
isi…………………………………………………………………... 3
Bab
I pendahuluan………………………………………………………… 4
Bab
II pembahasan
A. Pengertian dan penjelasan studi Al-Qur’an……………………….. 5
B.
Tafsir sastra
dan metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an…….. 5
C. Hermeneutik………………………………………………………. 13
Bab
III penutup
A. Kesimpulan……………………………………………………….. 18
Daftar
pustaka……………………………………………………………. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Quran datang ke hadapan kaum Arab kala itu dengan format
yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak
tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah
menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan
bagi Al-Quran, mulai dari yang terberat
ataupun membuat satu saja:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)
Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus :
38),
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang
keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah
bermacam-macam tafisr dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah
menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan
menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, di
samping itu dalam pembelajaran mengenai studi Al-Qur’an juga terdapat tafsir
sastra dan hermeneutik.
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan
nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud
menelusurinya satu demi satu. Dalam makalah kami ini akan menerangkan dan
memaparkan mengenai arti dan penjelsan studi Al-Qur’an, tafsir sastra, metode untuk tafsir al-qur’an dan tentang
hermeneutik. Rumusan masalah:
1.
Apa pengertian Al-Qur’an?
2. Bagaimana model
tafsir sastra dan metode tafsir
Al-Qur’an?
3.
Apa pengertian hermeneutik dan penjelasan Al-qur’an?
Tujuan:
1.
Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan Al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui bagaimana model tafsir sastra dan metode tafsir lain al-qur’an.
3. Untuk
mengetahui arti dan penjelasan hermeneutik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN DAN PENJELASAN STUDI
AL-QUR’AN
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. Melalui perantara malaikat
jibril dan bernilai ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an merupakan
sumber utama bagi umat islam dalam
mengarungi kehidupan ini sesuai dengan
aturan Allah. Al-Quran merupakan
mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW.
Sepanjang masa. Al-Quran adalah kitab suci umat islam yang dijadikan pedoman
dalam hidupnya.1[1]
Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai sumber dari segala
hal yang berhubungan dengan Agama Islam, yang berkaitan dengan masalah tersebut
meliputi Al-Qur’an sebagai sumber Islam, ilmu- ilmu Al-Qur’an, metode dan corak
penafsiran serta model penelitian Al-qur’an. Kajian tentang metodologistudi
Al-Qur’an merupakan salah satu yang juga menjadi perhatian para ulama’ yang
akan mengkaji tentang keislaman. Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi
bacaan bagi manusia untuk memperoleh petunjuk Allah SWT. Berfungsi sebagai
Al-Huda, Al-Furqon, Asy-Syifa’ dan Mauidhoh bagi orang yang beriman.
Esensi Al Qur’an,adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup sekaligus penjelas bagi manusia disampaikan melalui Rosulullah saw. Dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Manusia yang dimaksud adalah semua umat di bawah kerasulan Nabi Muhammad, kapan,dan dimanapun mereka berada, Al-Qur,an bersifat universal, tidak berfungsi untuk kelompok, atau generasi tertentu pada zaman dan tempat tertentu.Ia adalah kebenaran hakiki, keberadaan dan fungsi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Allah akan menjamin dan menjaganya sebagimana yang terkandung di dalamnya.
B.TAFSIR SASTRA DAN METODE UNTUK MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
Salah satu keunikan Al-Qur’an
adalah adanya pengulangan kata di
beberapa ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta
menghubungkannya dengan studi tematik modern..Muhammad Quthub misalnya,
menegaskan sisi dengan tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang
lebih unik adalah bahwa terdapat pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31
kali seperti yang terdapat pada surat Ar-Rahman. Dalam melakukan studi tentang
pengulangan yang ada dalam Al-Qur’an, Muhammad Quthub mencontohkan , ibarat
mengenal seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya
sepotong-sepotong dari beberapa cirri fisiknya, tetapi harus secara menyeluruh
yang meliputi mata,hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah, menurut
Muhammad Quthub yang disebut sebagai suatu keutuhan.
Selain Muhammad quthub
adalah Muhammad al-hijazi yang juga membahas pengulangan dalam Al-Quran. Dalam
bukunya al-wahdah al-maudhu’iyyah fi al-qur’an al-karim, ia mengatakan
bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan
kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannaya. Surat-surat makiyyah misalnya
berbeda dengan surat-surat madaniyyah. Kesatuan tema inilah yang kemudian
memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul
metode penafsiran bercorak sastra yang di prakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode
ini merupakan metode modern yang menggunakan model pembacaan terhadap berbagai
masalah sosial yang berkembang di masyarakat dan diintegrasikan dengan
sentuhan-sentuhan sastra. Kelemahan yang di temukan pada metode ini pada awal
kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam beberapa kajiannaya. Beberapa
kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya klasik yang
ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8. Kelemahan ini kemudian
menjadi motivator bagi bintu al-Syati’ untuk mengembangkan kajian tematik bahasa
sastra dalam tafsir. Salah satu karyanya
adalah al-tafsir al-bayani li al-Qur’an al-karim.
Metode tafsir sastra tematik bintu al-Shati’ ini dipengaruhi oleh gaya
gurunya yang juga merupakan pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khauli. Secara
garis besar metode kajian sastra tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok
pikiran:
Pertama, mengumpulkan
unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat untuk
dipelajari secara tematik. Mula-mula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara
umum, kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan
perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analitik) yang cenderung
menggunakan maqta’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini ia membuka
dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat
yang memiliki kesamaan gaya bahasa . kadang menyebut jumlah kata. Adakalanya
memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir ia simpulkan
korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua, memahami
beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai dengan
kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan
diturunkannya ayat-ayat al-qur’an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab
al-nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab (kesimpulan yang
diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan kekhususan sebab-sebab diturunkannya
sebuah ayat).
Ketiga, memahami
dalalah al-lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz
al-qur’an , apakah dipahami sebagaimana dzahirnya ataukah mengandung arti majaz
(kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khas (hubungan –hubungan
kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyaq ‘am (hubungan
kalimat secara umum) dalam Al-Qur’an.
Keempat, memahami
rahasia ta’bir dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang
dilakukan dengan cara mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan
yang ada di beberapa kitab tafsir yang mu’tamad, tanpa mengesampingkan posisi
gramatikal arab(i’rab) dan kajian balaghah.
Sastra tematik yang di
maksudkan disini adalah corak tafsir modern yang menganut madzhab dan aliran
tematik umum (maudhu’I ‘am). Pengkajiannya di khususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu
surat. Ia tidak mengambil seluruh surat dalam Al-Qur’an , tetapi beberapa surat
pendek saja, yaitu tujuh surat pendek juz ‘amma pada buku pertama; Ad-Dhuha,
Al-Insyirah, Az-Zalzalah, Al-‘Adiyat, Al-Nazi’at, Al-Balad dan At-Takatsur.
Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua ; Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr,
Al-Lail, Al-Fajr, Al-Humazah dan Al-Ma’un.
Sebagai perbandingan
Muhammad Quthub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan klasifikasi
makki dan madani serta klasifikasi masing-masing keduanya. Dengan satu titik
sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad Quthub, tema besar
al-qur’an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa aspek penting
dalam tema besar yang ingin disampaikan , ia menafsirkannya secara tematik
dalam beberapa sampel surat. Tiga surat makiyyah;Ar-Ra’ad, Luqman dan Fatir,
serta tiga surat madaniyyah; Al-Baqarah , Ali ‘Imron dan An-Nisa’.
Rujukan utama dalam buku
ini, bintu al-Shati’ merujuk kepada pendapat al-Zamakhsari dalam bukunya al-kasyaf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya
al-bahr al-muhit. Dalam
mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan suaminya , yaitu
Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Shadiq al-Rafi’i. lebih
rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al-ijaz al-bayani.
Salah satu contoh tafsir
sastra tematik bintu al-shati’ adalah surat Az-Zalzalah, yang dibuka dengan
tema umum; alyaum al-akhir, kemudian ia mengklasifikasinya sebagai awal-awal
surat madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat madaniyyah seperti ini
justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran
sebaliknya, surat-surat makiyyah bukan berarti tidak memuat tasyri’ dan
penjelasan hukum.
Dalam hal ini penakwilan
fa’il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu Allah. Pesan yang
disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki
potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa
berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, bint al-Syathi’
merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah
(baik kata zulzilat maupun kata zilzalaha), kemudian pengungkapan dalam
bentuk madli yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idza (apabila).
Pada
ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat
(mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan.
Setelah itu merinci penafsiran ‘atsqal
(beban-beban berat yang dikandung bumi). Pada ayat selanjutnya, titik tekannya
adalah keheranan manusia, baik yng beriman maupun yang kafir meskipun sebagian
mufassirin ada yang berpendapat orang kafir saja. Disini ia memilih pendapat
pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini. Pertanyaan
ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan
bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpedapat
sebaliknya, bahwa memang benar-benar pada hari itu bumi bisa berbicara.
Dalam kesempatan ini ia menyebutkan
pendapat beberapa mufassir, diantaranya; al-Thabari, al-Zamakhsyari, Abu Hayyan
dan al-Thabarsyi. Pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan akan timbul pun
ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata adalah titah pencipta
manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia
setelahnya. Dalam ayat ini agak panjang lebar berbicara masalah wahyu.
Pesan penting berikutnya
adalah penggunaan kata yawma idzin (pada
hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di
alam kubur dan di bangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan
dan seting, seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film
dan pertunjukkan yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan
kata yashdur (keluar) bukan dengan
sinonim lainnya yakhruj atau yansharif.
Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara
keluarnya manusia dari kuburnya yang
bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar.
Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai sesuai amal dan
perbuatannya selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan
kondisi yang demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat
menentukan nasib mereka. Adapun balasan
bagi mereka setelah itu adalah seperti yang telah dijelaskan pada dua ayat
penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqabalah
(perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga
menggunakan kata mitsqala dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan
mazhab dalam memahami ayat ini, baik dari para mutakallimin maupun
kelompok yang ada, juga mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh
untuk mewakili pemikiran mu’tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi
mewakili Syi’ah. Polemik ini muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang
dilakukan oleh orang kafir yang dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apapun
kebaikan itu. Ia juga mengemukakan pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh
yang dikaguminya.
Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan
bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. Dia member ampun kepda
siapa yang kehendaki-Nya dan memberi azab kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14).
Untuk mempelajari isi kandungan ayat Al-Qur’an, kita memerlukan ilmu tafsir. selain
menggunakan cara tafsir sastra yang telah diuraikan diatas, berikut ini ada
metode-metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an:
1. Al-Tafsir al-Tahlily
(metode Analisis)
a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
c. Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Taswauf)
d. Al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
e. Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
f. Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
g. Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’I ( bercorak Sosial)
2. Al-Tafsir al-Ijmaly ( Metode Global)
3. Al-Tafsir al-Muqaran
( Metode Komparatif)
4. Al-Tafsir Maudhu’iy (Metode Tematik)
Dari
metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an diatas, yang
akan dibahas dalam makalah ini hanyalah sebagian saja, diantaranya :
v
Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasawuf)
Ketika
ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam
tersebar ke seluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala
seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf .
Al-Tafsir
al-Shufi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Tasawuf Teoritis, yaitu
para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan
teori-teori madzhab dan sesuai dengan ajaran mereka. Kalangan tokoh-tokoh
tasawuf mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami
Al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka.
Penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, dan
tafsirannya sering keluar dari arti dhahir yang dimaksud syara’ yang didukung
oleh kajian bahasa.Mereka menta`wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tidak
mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat Al-Qur’an dan menjelaskannya dengan
penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalil syar`iy, serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab,
yaitu dalam bab perihal isyarat. Imam Al-Alausy dalam
kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut: “ Apa yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh Shufi tentang al-Qur’an adalah termasuk kedalam bab isyarat terhadap
pengertian–pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang
menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan
pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual
yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang
sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual bukanlah yang
dikehendaki. Karena keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka
sampai menafikan syari`at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufi kita
tidaklah bersikap demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar
tetap dipelihara penafsiran dan pengertian batin dari suatu ayat sebelum
penafsiran, dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu
diketahui. Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasawuf
teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara acak dan parsial yang
dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat
al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang
bercorak beraneka ragam.
b. Tasawuf
Praktis, yaitu tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan
meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT. Aliran ini menamakan tafsir
mereka dengan tafsir al-isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda
dengan arti dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi, namun dapat
dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksud.
Mereka
berkata, Tafsir Sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
1) Tidak
menafikan makna lahir/tekstual dari ayat Al-Qur’an.
2) Penafsiran itu
diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3) Penafsiran itu tidak
bertentangan denga dalil syara` atau rasio.
4) Penafsirnya tidak
mengakui bahwa hanya penafsirannya itulah yang dikendaki Allah, bukan
pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari
ayat Al-Qur’an yang ditafsir.
v
Al-Tafsir al-Fiqhi
(bercorak Fikih)
Dari
Tasir bi Al Ma`tsur lahirlah tafsir Fiqhi, yaitu menafsirkan Al-Qur`an dengan
ijtihad dalam mencari keputusan
hukum dari Al-Qur’an, dan berusaha menarik kesimpulan hukum Syari’ah
berdasarkan ijtihad, terutama dari ayat-ayat yang terdapat pada surat-surat
yang turun di Madinah yang berisi Syari`at Islam dengan segala cabang dan
macam-macamnya, yaitu shalat, zakat, haji, puasa, nikah, thalaq, mu`amalah, dan
penjelasan tentang halal dan haram.
Hukum-hukum
Islam yang mereka gali (istinbbath)
dari Al-Qur’an itu tersebar dari mulut ke mulut, dihafal oleh generasi
berikutnya secara estafet, sampai datang era penghimpunan dan penyusunan. Pada
era ini lahirlah orang-orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk
istinbath itu, sehingga ia berkembang dan tersebar. Dari sini timbullah
madzhab-madzhab yang berbeda-beda dikalangan umat islam sehingga terjadi banyak
kasus-kasus hukum. Terhadap kasus-kasus itu para ulama menyelesaikannya
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnahh, Al-Qiyas, dan sumber hukum yang lain.
v
Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat /
Falsafat)
Al-Tafsir
al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat
terbagi kepada dua:
1. Golongan yang
menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat
dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian
tersebut. Diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi
ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi
tahun 606 H.
2. Golongan yang
mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang
bertentangan dengan Nash dan Syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau
mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan
segala pertentangan dan hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena
tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali
tidak mendukungnya.
v
Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
Al-Tafsir
al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip
kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian
mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Para ulama telah memperbincangkan
kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma
ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan
penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan
hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya Al-Qur’an, yaitu hukum-hukum
alam, astronomi, kimia, dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat
dikembangkan ilmu-ilmu lain, seperti kedokteran, zoology, botani, geografi dan
lainnya.
Sikap para ulama terhadap tafsir `Ilmy
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Sebagian
dari mereka yang mendukung tafsir `Ilmy dan bersifat terbuka, sehingga mereka
menjadikan Al-Qur’an sebagi mu`jizat ilmiah, oleh karena itu ia mencakup segala
macam penemuan teori-teori ilmia modern. Pendapat mereka ini didasarkan atas
firman Allah (Q.S. 6:38), sebagai berikut:
مَا فَرَّطْنَ فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْئٍ…..
“ Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di
dalam Al-Kitab (Al-Qur`an)”.
b) Sebagian
yang lain menolak tafsir `Ilmy. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan
makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an
kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah
berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori itu bersifat relatif. Mereka
berpendapat tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan
menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan
teori-teori itu, tetapi sebaliknya kita harus menempuh cara yang mudah dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan
oleh teks ayat.
Selain dua sikap ulama
tersebut diatas, ada diantara ulama yang bersikap moderat. Mereka
mengatakan:”Kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan
kepada kita hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat
kauniyyah dan yang demikian itu tidak ada salahnya. Banyak hikmah didalamnya
yang jika dikaji oleh orang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah
cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu`jizatannya.
Di antara tafsir yang
bercorak al-‘Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya
besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al- Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an. Sedangkan As-Suyuthi
melalui kitabnya al-Itqan
.
v
Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i ( bercorak Sosial)
Yaitu tafsir dengan corak baru yang tidak
memberi perhatian kepada segi Nahwu, bahasa, istilah-istilah Balaghah, dan
perbedaan-perbedaan madzhab; sebuah tafsir yang justru menjauhkan pembaca dari
inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya, oleh karena kenyataan menunjukkan
bahwa perpustakaan-perpustakaan Islam telah dipenuhi oleh kitab-kitab tafsir
yang memalingkan umat Islam dan sasaran-sasaran al-Qur’an dan makna-makna yang
bernilai sangat tinggi.
Kelompok ulama yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan corak Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i selain
segi-segi kekurangannya, mampu mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan
kemu`jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh Al-Qur’an,
mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan-tatanan kemasyarakatan
yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat Islam khusunya, dan
manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan
ajaran-ajaran yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat,
memadukan antara Al-Qur’an dan teori-teori Ilmiah yang mampu mengikuti
perkembangan waktu dan manusia, dan mampu menolak kesamaran, keraguan dan
dugaan yang salah terhadap al-Qur’an dengan argument-argumen yang kuat yang
mampu menundukkan dan menolak kebatilan, sehingga jelas bahwa al-Qur’an itu
benar.
v
Al-Tafsir Maudlu’i (Metode Tematik)
Yang
dimaksud dengan Al-Tafsir Maudhlu’i (Metode Tematik) ialah yang membahas
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab an-nuzul, kosakata dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah,
baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional.
Satu
surah dalam Al-Qur’an sekalipun sub-sub temanya berbeda, pada hakikatnya
merupakan satu tema dan mengarah kepada satu tujuan, dan sekalipun ia
mengandung banyak makna dan bagian, pada hakikatnya ia merupakan satu kesatuan
yang bagian-bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan.
C HERMENEUTIK
1.Definisi Hermeneutika
Ada yang mengidentikkan hermeneutika
dengan seni atau sains penafsiran. Ada yang mengartikan sebagai metode
penafsiran, sebagian menyebut hermeneutika sebagai teknik penafsiran atau seni
menafsirkan. Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis
digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan melalui
apa yang disebut dengan gerakan deregionalisasi, suatu gerakan yang dirintis
oleh Schleiermacher.[1]
Plato memilih sebutan techne
hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan
Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato
yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu
yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai
teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran
terhadap teks.
Hermeneutika adalah satu disiplin
yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam
sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya
yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada
makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna
itu transparan, terang, jelas, dan gamblang[2].
Apa makna yang sesungguhnya dikehendaki
oleh teks ? Apa ada makna yang tersembunyi di balik teks atau di balik suatu
kalimat ? Apakah konsep yang terdapat dalam teks ini berkanaan dengan hukum
atau politik ? Apabila kita belum mampu memahami dengan jelas terhadap
pertanyaan-pertanyaan di atas dan atau pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan
dengan teks, maka diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan,
terang, jelas dan gamblang[3].
2.Fungsi Hermeneutika
Sebagai teknik untuk memperoleh
pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat
mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik,
masalah expression dan indikation serta masalah logika yang
terkandung dalam teks.
b.Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks
kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu,
hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain
adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan
tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang
membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang
sama.
c. Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan
hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks
hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar
dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum
tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam[4].
3.Aliran-aliran Hermeneutika
Joseph Bleicher di dalam bukunya
membagi hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran; yaitu :
- Hermeneutika
teori (Hermeneutical Theory)
- Hermeneutika
Filsafat(Hermenneutic Philoshophy )
- Hermeneutika
kritik (Critical hermeneutics)
Hermeneutika teori memfokuskan
perhatian pada masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk
ilmu-ilmu tentang manusia termasuk ilmu sosial. Hermeneutika teori menempatkan
hermenetik dalam ruang epistimologi, yakni, hermenetik di tempatkan sebagai
metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Betti mengharapkan pemikiran
orang lain ( the mind of other) dapat dipahami seobyektif munkin. Oleh
aliran ini hermenetik diupayakan akan menemukan pondasi yang dibutuhkan bagi
penelitian ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Schleiermacher, Droysen,
Dilthey dan Emilio Betti.
Hermeneutika Filsafat justru menolak
upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif
melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat
ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi
yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap
obyek yang dikaji dan dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang
netral. Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang
obyektif tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain.
Tokoh-tokohnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.
Hermeneutika Kritik lahir lahir dari
latar belakang dua aliran diatas. Habermas melihat dua aliran Hermeneutik yang
ada, tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai kondisi yang
punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang, misalnya, tekanan
ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur seseorang dan ini
berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada tata pikir dan
prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan sebagai cara
pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level
tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan budaya
namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti material yang memadahi,
dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model psikologis[5].
4.Sejarah Perkembangan Hermeneutika
Pada pertumbuhannya, Hermeneutik
digunakan dalam sistem pendidikan di Yunani kuno. Rujukan yang menjadi pedoman
pendidikan pada saat itu adalah karya sastra Homerus yang berisi
nasehat-nasehat moral. Hermeneutik saat itu digunakan untuk mentafsirkan karya filologi,
yakni teks karya tangan manusia. Untuk saat ini sering istilah ini dikaitkan
dengan penelitian, yakni penelitian filologi yang obyeknya naskah kuno,
misalnya, filologi yang obyeknya naskah kuno berbahasa Jawa dengan huruf jawa,
seperti naskah babat tanah jawa, atau naskah berbahasa Sunda kuno, atau naskah
berbahasa daerah. Termasuk dalam filologi adalah naskah yang ditulis dalam
huruf Arab pegon seperti naskah Bustanus Salatin. Dalam tradisi
hermeneutik, istilah filologi dilawankan dengan teologi yang diartikan sebagai
karya tuhan.
Jika dilihat dari segi gerak,
Hermeneutik muncul dari lapangan filologi, lalu mencoba masuk ke lapangan
teologi. Sebenarnya, dalam agama Yahudi dan Kristen telah ada tradisi
penafsiran atas kitab suci. Tradisi ini disebut Biblical exegesis, penafsiran
terhadap kitab suci Bibel. Biblical exegesis tidak bisa diartikan dengan
tafsir model hermeneutik seperti pemahaman modern dan kontemporer, sebab
exegesis adalah penafsiran yang khas yang digunakan dalam tradisi agama
tersebut.
Ada dikabarkan Philo (30 SM-50
M), seorang filsuf agama Yahudi, telah melakukan upaya penafsiran terhadap
kitab suci Yahudi dengan exegesis dan bukan hermeneutik. Demikian pula
dikalangan umat islam, tradisi penafsiran kitab suci agama islam tidak memiliki
kaitan dengan hemeneutik sama sekali.
Sementara itu memang ada upaya dari
kalangan kristen protestan mamasukkan hemeneutik menjadi metode penafsiran
untuk Bibel. Upaya ini dilakukan oleh Spinosa (1632-1677 ),Flacius dan
Chladenius, para teolog protestan. Upaya mereka ini di latar belakangi oleh
persoalan utamanya terkait dengan ayat atau ayat-ayat yang menurut pandangan
mereka belum atau tidak jelas maknanya.
Spizona, Flacius dan Chladinius
adalah para filsuf yang masuk dalam masa pre Romantis. Dari masa ini,
hemeneutik memasuku masa Romantisisme, masa ini sesungguhnya lebih tepat di
sebut sebagai sebuah gerakan yang terjadi pada masa setelah Lhan dan sebelum
Hegel, atau masa antara Khan dan Hegel ( kira-kira 1775 – 1815 ). Romantisisme
merupakan asosiasi para filsuf yang menyebut dirinya “ Schiegel Brothers “ para
anggotanya antara lain Novila, Friet, Schelling dan Schleiermacher[6].
B. MENGENAL HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Di kalangan umat islam, penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an telah berjalan
sejak ayat al-Qur’an turun pada nabi Muhammad SAW , nabi sendiri telah
menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan
oleh nabi adalah tafsir bil-manqul. Dalam perkembangan selanjutnya para
ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni
ulum al-tafsir. Akan tetapi, menurut kami ulum al-tafsir tidak dapat
diidentikkan dengan hermeneutika. Mungkin secara bahasa, ada kesamaan,
artinya hermeneutika itu sebenarnya berarti penafsiran. Hanya sebatas makna lafdziyah
ini dapat di terima. Akan tetapi jika yang dikehendaki dengan istilah
penafsiran sebagai satu sistem metodologi penafsiran kitab suci, jelas tidak
identik. Sebagai sebuah sistem ulum al-tafsir atau ulum al-Qur’an terdiri dari
unit-unit bahasan yang mana satu dengan yang lain saling berhubungan.
Di antara unit-unit itu adalah :
- Kaidah
memahami Al-Qur’an, kaidah ini membahas sharaf dan nahwu.
- Ayat muhkamat
dan mutasyabihat.
- Nasakh
: nasih dan mansuh.
- Bahasan
mengenai manthuq dan mafhum.
- Bahasan
mengenai mafatih al-suwar.
- Dan
lain-lain.
Item-item di atas merupakan bagian
yang menjadi bahasan dalam ulum al-tafsir atau ilmu untuk menafsirkan
al-Qur’an. Dari tema-tema atau item-item bahasan tersebut menjelaskan kepada
kita, bahwa, pertama, ulum al-tafsir memiliki otonom yang
mandiri dan berbeda dari hemeneutika; kedua, sebagai suatu
disiplin untuk menafsirkan kitab suci, ulum al-tafsir tidak terpengaruh
hermeneutika, dalam sisi tata bahasa atau nahwu, secara umum, artinya
tidak saja berlaku untuk menafasirkan al-Qur’an tetapi juga untuk teks yang
berbahasa Arab, sastra arab mempunyai otonom sendiri.
Tidak hanya itu, aspek
kontekstualisasi juga tidak lepas dari perhatian beberapa pengkaji Al-Qur’an
periode klasik. Kajian terhadap konsep maslahah atau maqasid
al-syar’iyah bisa dimasukkan dalam ranah ini. Maqasid al-syar’iyah
dimaksudkan bahwa setiap hasil penafsiran atau produk ijtihad bener-benar mampu
membawa kebaikan umat. Kitab-kitab ushul fiqh karya sarjana muslim klasik telah
memberikan porsi yang cukup signifikan mengenai hal ini.
Meski secara terminilogis metode
hermeneutika Al-Qur’an tergolong baru dalam khazanah tafsir, namun sampai saat
ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari kajian filsafat ini
telah mengalami perkembangan signifikan ditangan para hermeneut muslim
kontemporer. Berbagai metode telah tersajikan untuk menyempurnakan kerangka
metodologis ilmu-ilmu al-Qur’an. Pengelompokan aliran-aliran hermeneutik dalam
kesarjanaan muslim juga telah terpetakan. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin
memetakan aliran hermeneutika al-Qur’an menjadi tiga kelompok:
- Pandangan
quasi-obyektivis tradisionalis, yakni suatu pandangan bahwa Al-Qur’an
harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini,
sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada
situasi di mana Al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad.
- Quasi-obyektivis
modernis, aliran ini juga memandang penting terhadap original meaning
(makna asal), namun bagi kelompok ini, makna asal tersebut hanya sebagai
pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an dimasa kini.
Makna asal literatur Al-Qur’an tidak lagi dipandang pesan utama Al-Qur’an.
- Aliran
subyektivis, yaitu aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya
merupakan subyektivitas penafsir. Karena itu setiap generasi berhak
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan[7].
Di kalangan umat islam tidak pernah
ada usulan hermeneutika dimasukkan sebagai metode atau sains yang diperlukan
bagi kegiatan penafsiran al-Qur’an[8]. Putusan yang bersifat
mendeskriditkan hermeneutika ini di ambil karena dua kemungkinan. Petama ,
minimnya pengetahuan mengenai hermeneutika, atau pengetahuan yang sepotong-sepotong,
parsial dan dan tidak konprehensif. Kedua, munculnya wacana
pluralisme dan islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan dengan
hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi[9].
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
pada awalnya hermeneutika digunakan untuk studi filologi, lalu untuk study
teologi dan kemudian berkembang. Perkembangan dan perubahan hermeneutika ini
masih berada dalam ruang epistemologi yang membicarakan tentang bagaimana
pemahaman diperoleh manusia melalui hermeneutik sebagai metodologi penafsiran.
Perubahan wacana hermeneutik yang
bersifat subyektif terjadi ketika diskusi hermeneutik berpindah dari ruang
epistemologi ke ruang ontologi. Inilah yang dimaksud dengan perubahan. Adalah
Heidegger (1889-1976) filsuf yang mengubah wacana diskusi hermeneutik dari
ruang epistimologi ke ontologi.
Heidegger menegaskan, pemahaman dan
penafsiran tidak perlu dibedakan, pemahaman bisa ada tanpa melalui penafsiran,
bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh lewat aktifitas mnafsirkan
pikiran orang lain merupakan yang tidak outentik.ini ungkapan yang yang
bernuansa protes. Misalnya, seorang yang beragama islam paham bahwa dia sedang
berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat, dia paham kalau sholat maghrib
wajib. Setelah sholat dia paham bahwa dia membaca al-Qur’an dan dia paham bahwa
dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau sebaliknya, dia paham bahwa
dia tidak paham makna yang dibaca. Meskipun demikian ia tetap berusaha
menjelaskan kepada orang lain bahwa meskipun dirinya tidak memahami arti yang
dibaca, tetapi membaca al-Qur’an merupakan salah satu cara menegaskan diri
sebagai orang muslim.[10]
Perubahan ini lebih signifikan lagi
jika kita menyimak semakin banyaknya persoalan sosial umat islam kontemporer
yang tidak mampu dijelaskan oleh pembacaan –pembacaan konvensional terhadap
al-Qur’an.[11] Perubahan paradigma
dengan memperkenalkan metode baru banyak dirintis, antara lain, oleh Fazlur
Rahman, mohammed Arkoun, Khalid Abou El-Fadl, Muhammad Abid Al-Jabiri, Ebrahim
moosa, Nasr Hamid Abu Zayd, dan mumkin juga pemikir islam lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melihat kenyataan
diatas,kita bisa mengetahui tentang pembelajaran al-qur’an dengan detail, dan
kita juga basa mengetahui tentang sastra, tafsir beserta metode, dan
hermeneutik. Kita tahu, bahwa setiap metode mempunyai efektifitas
masing-masing. Dan karena Al-Qur’an merupakan kitab untuk semua bangsa serta semua
tingkatan, maka kajian terhadap Al-Qur’an perlu dilakukan dengan sangat
hati-hati dan proporsional.
Al-Qur’an berfungsi
sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Agar fungsi ideal itu dapat
teraplikasikan maka Al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan penafsirannya.
Untuk kebutuhan penafsiran dimaksud diperlukan adanya kerangka dasar yang
relevan yaitu sebuah metode. Jadi, keberadaan sebuah metode dalam penafsiran
mutlak diperlukan.
Tafsir Al-Qur’an ditulis
dengan metode dan pendekatan yang bervarian. Ini suatu bukti dari kesungguhan
para ulama untuk terus berusaha memahami al-Qur’an dari berbagai aspek dan
kemampuan yang dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih
menyempurnakan metode dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga
perlu disambut dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman
terhadap Al-Qur’an
Tidak bisa dipungkiri
bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya untuk terus mencari alternatif
metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-metode dan
pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan yang tak
ternilai.
Untuk itu perlu dicari
metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi dengan zaman sekarang, dan
menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban
melihat Al-Qur’an dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikan
dalam kehidupan kontemporer, yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai
tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa
dengan perkembangan positifnya
DAFTAR PUSTAKA
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar
Studi Islam,Surabaya 2012.
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi
Al-qur’an,Surabaya 2012.
http://asyroff.wordpress.com/al-quran/heurmenetika-al-quran/
[1] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2012), 199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar